MENGHINDARI AKHIR HIDUP YANG SIA-SIA

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus,

“Trend” yang terjadi di zaman modern saat ini adalah ketika banyak orang mengikuti perlombaan memperkaya diri sendiri dengan bekerja keras atau kerja cerdas, berinvestasi dan melipatgandakan aset, bahkan sebagian orang melakukannya dengan korupsi. Salah satu buktinya adalah larisnya seminar motivasi dan cara-cara menjadi kaya.Juga tentunya tumbuh suburnya perilaku korupsi yang dilakukan oleh birokrat dan mitra-mitranya. Keinginan memiliki banyak harta tampaknya memang merupakan “insting” manusia sejak zaman dahulu. Setiap orang termasuk umat Tuhan harus menyadari hal ini. Yang harus diwaspadai, selain keinginan instingtif ini, adalah adanya kemungkinan besarnya rasa kuatir yang diidap oleh manusia. Untuk menutupi rasa kuatir akan kekurangan misalnya orang akan berjuang mengamankan diri dengan menimbun banyak harta benda. Kalau bukan karena kuatir akan kekurangan, banyak juga orang berjuang untuk menjadi kaya karena menganggap kekayaan dapat menjadi jaminan ketenangan hidup, dan dapat dipakai untuk membeli kesenangan

Tentang kekayaan dalam hal ini adalah warisan biasanya memang menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Ada kekayaan atau warisan yang memang bisa mendatangkan manfaat bagi dunia. Dimana dengan kekayaan orang biasanya dengan mudah mendapatkan teman, persahabatan. Tetapi adanya kekayaan terlebih yang telah menjadi warisan bisa juga mendatangkan percekcokan, perkelahian, permusuhan sampai kepada pertumpahan darah. Lukas juga dengan jeli melihat fenomena ini. Lukas sangat memahami bagaimana warisan sesuatu yang di dunia dan tiada fana ini bisa mendatangkan hal yang sangat merugikan diri manusia. Lukas mengangkat tema ini sebagai pembahasan yang juga menarik. Bagaimana dengan warisan berhubungan dengan peraturan-peraturan Yahudi. Takkalah menarik saat Lukas juga mengarahkan persoalan warisan ini dengan ajaran Yesus sendiri. Saat Yesus dikatakan dan disebut “Guru” tentu sebutan ini bukan semata-mata karena Yesus memberikan pengajaran kepada orang banyak. Bisa dijadikan panutan serta dijadikan teladan tentang ajaran dan perkataannya. Namun sebutan guru ini juga memiliki tendensi bagaimana maksud saat orang datang kepada seorang guru. Seseorang yang dianggap memiliki pandangan luas, bisa memecahkan persoalannya dan memberi solusi yang dianggapnya sebagai jalan keluar yang adil, baik dan benar bagi semua. Di sini juga demikian saat seseorang yang memiliki persoalan tentang warisan datang dan menyebut Yesus ‘guru’. Tentunya dengan memanggil guru, orang ini memiliki pengharapan bahwa Yesus jauh lebih memahami tentang berbagai aturan-aturan Yahudi yang berhubungan dengan warisan. Namun kenyataannya sebutan guru tidak membawa Yesus kepada keterpihakan kepada orang yang datang kepadaNya. Secara jelas Yesus menepis anggapan dan harapan orang banyak tentang sosok guru. Dengan tidak memberi penjelasan yang spesifik tentang pertanyaan yang diajukan oleh seseorang yang bertanya padaNya bukan berarti Yesus membiarkan adanya tindakan ketidakadilan, kejahatan, persaudaraan yang putus dari adanya persoalan warisan tersebut, sama sekali tidak! Meskipun tindakan yang dilakukan oleh Yesus ini bisa menimbulkan salah persepsi dari orang yang bertanya kepada Yesus. Harapan mendapat jawaban, tapi yang ia dapat sebaliknya pertanyaan juga. Dan di sinilah kita memahami ada unsur kebijaksanaan yang disampaikan Yesus melalui pertanyaan-Nya. Sebagai guru, Yesus lebih mengarahkan pendengarNya kepada pemahaman untuk memikirkan hal yang lebih penting dari hal duniawi. Dengan pertanyaan yang mengajak orang banyak juga berpikir “siapa yang mengangkat Aku menjadi hakim diantaramu?” tentu pandangan Yesus adalah hal yang memang sering terjadi diantara manusia yang hanya memikirkan harta duniawi. Dengan Yesus berkata demikian memberikan penjelasan bahwa Ia menyerahkan keputusan itu ada di tangan manusia. Hal yang ada di dunia yang sering menimbulkan pertengkaran, permusuhan, bahkan pertumpahan darah. Pada sisi lainnya Yesus juga memberikan peringatan kepada manusia untuk bersikap waspada adanya harta duniawi ini. Manusia juga hendaknya dapat menggunakan harta dengan bijaksana. Yesus sendiri juga memiliki pemahaman apabila warisan, harta duniawi ini dapat menjebak pengikut-Nya. Yaitu dalam sikap egoistis, loba serta tujuan hidup yang keliru. Dengan mengkhawatirkan hartanya kecenderungan orang tidak lebih memikirkan hidupnya. Maka dari itu Yesus memberikan tanggapan supaya pendengarnya kepada sikap hati-hati dan waspada terhadap harta dunia. Sebab orang dapat merasakan aman atau safe saat telah memiliki harta dunia tanpa menghiraukan keberadaan Tuhan yang maha memiliki segalanya. Maka Yesus lebih membawa para pendengar dan pengikut-Nya untuk lebih memahami tentang harta sorgawi. Harta yang telah tersedia bagi setiap orang yang hidupnya bergantung kepada-Nya, beriman dan percaya pada-Nya

 

Apa pesan perenungan Firman Tuhan ini dalam kehidupan kita sehari-hari:

  1. Kebodohan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus adalah ketika manusia berpikir bahwa kekayaannya dapat memberinya kuasa atas hidupnya. Padahal hidup manusia adalah pemberian Allah (pinjaman), sehingga bagaimana mungkin manusia dapat menggantungkan jaminan hidupnya kepada harta miliknya? Orang bodoh dalam perikop itu mewakili orang yang sangat tamak sehingga ia hanya melihat dirinya saja dan bahkan melupakan kehadiran Tuhan itu sendiri. Padahal Tuhan bisa kapan saja memanggil kita untuk mengembalikan hidup yang diberikan kepada kita sebagai pinjaman. Oleh karenanya kita dinasihatkan untuk tidak mengumpulkan harta di dunia, tetapi yang jauh lebih penting adalah mengumpulkan harta di sorga (Mat.6:19-20). Seberapa banyakpun harta milik kita, tak satupun yang dapat kita bawa setelah kita mati.
  2. Mana yang akan lebih kita pilih, kaya di dunia atau kaya di hadapan Allah? Kaya di dunia fana (tidak kekal) karena tidak satupun harta milik yang dapat kita bawa setelah kita mati. Tetapi kaya di hadapan Allah adalah: pertama, ketika orang mampu bersyukur atas kewargaannya di dalam Kerajaan Allah (di sorga bersama dengan Tuhan Yesus). Kedua, orang yang mampu bersyukur untuk setiap berkat yang dipahaminya sebagai “tambahan, sarana atau alat” untuk menikmati kehidupan yang telah diberikan Allah serta menjadikannya sebagai kemuliaan bagi nama Tuhan. Kekayaan tidak boleh menjadi tujuan, tetapi hanyalah sebuat sarana (alat) untuk mencapai tujuan yakni akhir hidup yang bermakna sebagai orang yang memuliakan nama Tuhan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *